SI MALING HATI ALULA


Oleh : Agil Uin

Alula memandangi sekitar food court yang baru saja dijejakkannya. Matanya melihat sekeliling dengan tatapan gelisah. Ia sedang mencari sesosok pria tinggi dengan rambut bergelombang yang panjangnya sebahu. Itulah yang diingatnya dari sosok itu terakhir kali, lima tahun yang lalu. Gadis berhidung ramping ini tak bisa menahan degup jantungnya yang bertambah kencang sejak tiga hari lalu. Ketika sebuah pesan singkat dari pria itu sampai di gawainya.

Hei Lula. Apa kabar?
Ini Unang, masih ingat kan?
Gimana kabarnya?

Pesan itu seketika membawa kenangan yang menyesap batin Alula. Lima tahun lalu di musim hujan. Unang bukan orang baru dalam kehidupan Alula, ia salah satu mahasiswa yang menyewa kamar kos milik orang tuanya. Sudah tiga tahun ia tinggal di sana. Alula sendiri masih kelas satu SMA waktu itu. Alula tak terlalu memperhatikan kehadiran Unang di sana. Baginya para mahasiswa yang tinggal di sana hanya mahasiswa biasa yang suka bersiul jika ia lewat.

"Hai Alula," sapa mereka sambil diikuti siulan genit.

Alula tak acuh dan mengabaikan tingkah laku para bujang mengesalkan itu. Beraninya kalau nggak ada Bapak, keluh Alula. Tapi tak ada yang berani menggodanya lebih dari itu. Posisi Alula sebagai putri tunggal pemilik kos-kosan cukup menguntungkan. Membuat mereka berpikir ribuan kali untuk mencari masalah dengan pemilik kos-kosan.

Di halaman samping Alula melihat Unang sedang membopong televisi rumah dari pintu belakang. Pikirannya langsung menangkap sinyal tak baik. Spontan ia berteriak histeris.

"MALIIING! MALIIING! TOLOOONG! MALIIING!" Telunjuk Alula menunjuk-nunjuk Unang.

Seketika suasana tenang di sekitar berubah gaduh. Penghuni kosan, bapak dan ibunya, serta beberapa tetangga yang mendengar jeritannya teegopoh-gopoh mendatangi tempat Alula berdiri. Lelaki yang diteriaki maling sudah ditangkap oleh beberapa warga.

Wajah bapak dan ibu Alula berubah panik saat tahu tubuh Unang sudah terkunci oleh kerumunan warga yang siap memukulinya.

"STOP! STOP! JANGAN!" Bapak melerai kerumunan. "Dia bukan maling!" Lanjut Bapak tegas.

Mendengar itu, gadis berbalut seragam yang sudah berteriak maling seketika menutup mulutnya. Wajahnya merah padam.

Mati aku!

***

"Maafin Lula, Kak." Ujar Alula pelan. Wajahnya tertunduk dalam, menahan malu.

Saat itu Alula sedang di sidang di ruang tamu rumahnya. Lelaki yang dituduhnya maling ternyata akan membawa televisi Bapak yang rusak ke tukang servis. Unang tersenyum. Penampilannya saat itu memang seperti maling sungguhan. Dengan kaus tanpa lengan dan celana jeans robek di bagian lutut.

"Maaf, ya, Nang. Alula ini memang suka curigaan," bapak terkekeh.

Unang meringis. "Mungkin salah saya juga, Pak. Pake baju kayak gini, jadi disangka maling," Unang merentangkan tangannya.

Kejadian sore itu disambut gerimis. Televisi bapak batal di servis karena kerusakannya makin parah akibat terjatuh dan kena pukul saat Unang ditangkap ramai-ramai oleh warga.

Di situ diam-diam Alula memperhatikan lekuk wajah Unang. Tulang rahang yang tegas, dibalut kulit berwarna cokelat. Matanya tajam dengan alis tebal dan mencuat ke atas, dipadu dengan hidung mancung serta rambut gondrong yang terlihat terawat.

Ganteng juga.

Lalu benih-benih suka menjelma di hati gadis 15 tahun itu. Perkara yang mudah menggoda remaja-remaja ialah perkara jatuh cinta. Pun yang dirasakan Alula sebagai gadis normal seusianya.

***

Alula diam-diam tersenyum mengingat kejadian itu. Ia tak bisa melepaskan diri dari bingkai wajah Unang yang telah direkamnya baik-baik. Bayangan itu terus menari-nari dalam benaknya.

***

Ketika pulang sekolah, halaman kosan yang biasanya ia lewati buru-buru kini mendapat perhatian lebih. Sampai pura-pura membetulkan tali sepatu atau memungut uang yang sengaja dijatuhkan agar bisa berlama-lama di sana untuk melihat Unang. Kadang-kadang ia tidak perlu melakukannya ketika Unang sedang duduk-duduk di teras kosan. Disapa Unang sudah membuat perasaan Alula berbunga-bunga.

Unang memang tipikal laki-laki yang ramah dan tidak suka bersiul-siul menggoda perempuan. Ditambah lagi ia pandai bernyanyi dan bermain gitar. Alula suka mendengarnya bersenandung dari balik dinding kamarnya.

I won't forget the way you're kissing
The feeling's so strong were lasting for so long
But I'm not the man your heart is missing
That's why you go away I know

Alula ikut menyenandungkan irama lagu milik MLTR yang sering dinyanyikan Unang. Gadis itu tak terlalu paham apa artinya. Ia hanya berpikir bahwa karena lagu ini cukup enak untuk didendangkan Unang saat itu.

***

"La, pinjem obeng nomer dua ke Unang, ya!" Perintah bapak yang sedang belepotan mereparasi motor vespa di halaman depan.

Kepala Alula langsung tegak. Ia sangat bahagia dengan perintah bapak yang satu itu. Biasanya ia tak bersemangat dan mencari-cari alasan untuk kabur dari pandangan bapaknya.

"Oke, Pak!" Kaki Alula bergerak lincah menuju kamar kosan nomor tiga. Kamar Unang.

Di halaman kosan, langkahnya terhenti melihat Unang yang sudah siap mengunci pintu. Penampilannya tampak santai namun tapi.

"Kak Unang!" Panggil Alula. Setengah berlari gadis itu mendekati Unang.

"Mau ke mana, Kak? Rapi banget." Tanya Alula setelah dekat.

"Eh, Lula. Iya, biar nggak disangka maling," seringai Unang membuat Alula tersipu. “Biasa La, ke kampus." Jawaban kali ini serius. Ia mengucapkannya sambil tersenyum.

"Sore-sore gini kuliah, Kak?"

"Iya. Dosennya nggak ada kerjaan, nih." Unang berseloroh.

Alula mesem-mesem saja.

"Oya, ada apa?" Unang bertanya.

"Mau pinjem obeng, Kak."

"Buat apa?" Unang kembali memutar kunci yang masih menempel di lubangnya.

"Bapak benerin motor."

Pintu kamar Unang terbuka lebar. Aroma harum pewangi ruangan menguar ke lubang hidung Alula. Terlihat bentukan kamar Unang yang tertata tapi. Kecuali meja belajarnya yang penuh dengan buku dan tempelan-tempelan acak sticky note berisi catatan. Gambaran Unang yang ada di benak Alula semakin menunjukkan tanda-tanda positif.

Alula makin mengagumi sosok lelaki itu. Dengan tampang yang lumayan, tubuh menjulang, dan attitude menunjang, obsesi Alula pada Unang semakin besar. Gadis itu makin sering berkunjung ke kamar Unang dengan berbagai alasan. Bertanya soal kampus, meminjam buku, bertanya tugas sekolah, sampai obrolan lagu dan film favorit.

***

Tiga bulan kemudian.

Alula mendengar pembicaraan itu. Pembicaraan Unang dengan bapak dan ibu yang membuatnya sedih. Saat itu Alula baru saja sampai rumah setelah menerobos hujan sepulang sekolah. Di teras rumah ia tertahan untuk menguping pembicaraan mereka.

"Mohon maaf kalau selama ini saya ngerepotin Bapak dan Ibu." Ucap Unang.

"Ya, ya, kami juga minta maaf kalau ada yang kurang berkenan sebagai induk semang." Bapak membalas ucapan Unang.

"Ehm, dan maaf juga kalau Alula pernah bikin ulah," suara ibu ikut terdengar. Yang lain tertawa, mungkin ingat peristiwa maling tiga bulan lalu.

"Berapa lama Unang di Jepang?" Tanya ibu memutus tawa mereka.

"Masa studinya, sih dua tahun, Bu." Jawab Unang bersemangat.

Alula menutup mulutnya. Jepang? Batinnya.

"Siapa tahu dapat jodoh orang Jepang," canda bapak disusul derai tawa dari ketiganya.

Alula hampir tidak percaya Unang akan pergi sejauh itu. Ia tidak menyangka kebersamaannya dengan Unang hanya sebentar. Alula benar-benar patah hati. Kaki ber-sneaker hitamnya kembali berlari di bawah guyuran hujan yang semakin deras, sederas tangis yang mengalir dari matanya.

Alula yang basah kuyup terus berlari kemana saja kakinya membawa. Berharap patah hatinya ikut pergi sejauh mungkin atau dibunuh petir yang menggelegar-gelegar.

***

Alula duduk berhadapan dengan lelaki tegap yang pernah ia kagumi. Unang kini hanya berjarak kurang dari dua meter dengannya. Potongan rambutnya kini pendek, seperti lelaki kebanyakan. Alula sempat pangling karena Unang semakin terlihat tampan dengan penampilan barunya. Jantungnya berdegup kian kencang saat kenyataan yang ia temui bahwa Unang tidak datang sendiri. Ia bersama seorang perempuan ayu bertubuh lebih tinggi darinya. Setelah bersalaman dan memperkenalkan diri, mereka duduk melingkari meja.

"Maaf, ya jadi ngerepotin. Saya bener-bener nggak bisa ke rumah langsung karena harus langsung berangkat." Ucap Unang sambil menyodorkan selembar amplop bertuliskan nama Unang dengan seorang perempuan. Nama yang sama dengan wanita yang duduk di samping Unang.

"Nggak apa-apa, Kak. Kebetulan kampusku, kan deket sini." Alula menjawab dengan riang. Menutupi perasaan gundahnya. "By the way, selamat, ya," lanjut gadis itu sembari memamerkan senyum manis pada Unang dan perempuan di sampingnya.

"Makasih, La. Sampaikan salam untuk bapak dan ibu, ya." Ujar Unang disusul kalimat pamit dari keduanya.

Alula masih di tempat yang sama. Memandangi amplop berwarna hijau muda dengan ornamen bunga-bunga yang cantik. Tertera nama Rosa di samping nama lelaki yang masih dikaguminya sampai detik ini. Alula memejamkan mata, menahan air mata yang hampir tumpah di pipinya.

Asa itu pupus setelah lima tahun lamanya berharap. Alula memandang gerimis dari jendela besar food court. Gerimis yang sama yang terjadi dalam hatinya.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU: HUJAN MERAH JAMBU

Ari-Ari Lengket

TIPS JADI JUTAWAN DARI DESAIN GRAFIS