DALAM HATI 2

Oleh : Agil Uin


Anis

Perjodohan kami berjalan lancar hingga akhirnya kami menikah. Aku mencintainya. Tapi, entah bagaimana perasaannya terhadapku. Hadi lelaki yang baik. Pekerjaan yang mapan, perangainya yang ramah, serta banyak keahlian yang dimiliki tak ayal membuatku jatuh cinta. Selama menjadi suamiku, ia tak pernah sedikit pun melakukan hal buruk padaku.

Aku berusaha melakukan tugas sebagai istri sebaik mungkin. Menyiapkan segala keperluannya, memenuhi keinginannya, menjaga rumah dengan baik, selayaknya tugas seorang istri.

Namun, beberapa waktu belakangan, Hadi sering terlambat pulang karena urusan pekerjaan. Sebenarnya aku mengkhawatirkan kesehatannya kalau ia selalu pulang larut malam. Aku tak tahu apa yang ia makan di malam hari. Bisa saja itu menimbulkan penyakit.

Seharusnya Hadi tidak sekeras itu pada dirinya sendiri.



Hadi

Anis memang bukan wanita pilihanku sebagai istri. Kami dijodohkan oleh pihak orang tua. Tapi, Anis tidak buruk. Ia wanita yang baik, penurut, dan selama ini selalu memenuhi kebutuhanku sebagai suami. Menurut orang-orang di sekitar, kami adalah pasangan yang ideal.

Ah, bisa saja.

Namun begitu, aku masih tak memiliki cinta untuknya. Aku menjalankan kewajibanku semata-mata karena aku sudah menjadi suaminya. Mungkin dia pun melakukan hal yang sama, menjalankan kewajibannya karena berstatus sebagai istriku.

Kami tak pernah bertengkar atau adu argumen. Mungkin karena Anis yang penurut, membuat aku lebih dominan mengambil keputusan. Meski begitu, bukan berarti aku tak pernah meminta pendapatnya. Anis wanita yang pandai, ia cukup cerdas mengemukakan pendapatnya jika diminta. Kadang aku mengubah keputusan setelah berdiskusi dengannya. Tapi Anis juga tidak pernah menentang jika keputusanku tak sejalan dengan pendapatnya.

Begitulah Anis. Sayangnya aku belum mencintainya.


Rumah

Hadi masih terlentang di atas tempat tidur dengan nyaman. Dengan selimut tebal yang menguarkan aroma lavender di atas tubuhnya. Membuat tidurnya amat nyaman sejak semalam. Meski masih asyik menikmati waktu bermalas-malasannya, seluruh panca indera di tubuhnya sudah berfungsi, menandakan ia sudah terjaga betul dari tidurnya.

Telinga Hadi menangkap suara ketel dan peralatan dapur beradu. Menciptakan suasana khas rumah di pagi hari. Hadi menarik napas, manikmati aroma sedap dari masakan yang sedang dibuatkan istrinya. Setengah malas ia beranjak dari selimut yang masih ingin memeluknya. Sepertinya terselip juga aroma kopi hitam yang terasa di indera penciumannya yang membuat kepalanya memberi perintah langsung agar ia segera turun ke meja makan.

Benar saja, di atas meja makan sudah tersaji kopi hitam dan dua porsi omelet. Anis tersenyum melihat kedatangan Hadi yang masih dalam balutan kaos dan celana boxernya.

"Sarapan, Mas." Sapa Anis. Tangannya masih sibuk mencuci peralatan bekas masaknya.

Hadi duduk di bangku yang berada tepat di depan cangkir berisi kopi hitam. Jarak hidung dan cangkir kopinya kini hanya beberapa senti, membuat aroma kopi semakin dalam dihirup. Baru saja tangannya hendak mengangkat cangkir putih tersebut, tiba-tiba rasa perih di lambung menyeruak. Mengurungkan niatnya menyesap kopi hitam, minuman favoritnya.

Anis yang melihat gelagat tak baik dari suaminya cepat-cepat melap tangannya.

"Kenapa, Mas?" Anis mengusap pundak Hadi.

Hadi menggeleng. "Perutku sakit sekali," kedua tangannya memegangi perut.

Anis mengajaknya kembali berbaring di tempat tidur. Mengambilkan segelas air mineral hangat dan meminumkannya pada Hadi.

"Kayaknya kebanyakan kopi," gumam Hadi mengingat semalam ia menghabiskan beberapa cangkir kopi saat menunggu kedatangan Mitha.

"Mungkin maag. Aku ambilin obat maag, ya." Ucap Anis sambil beranjak ke kotak obat.

Hadi tak mengatakan apa pun. Perutnya masih terasa perih meski sudah lebih baik setelah minum air hangat dari Anis. Ia juga menurut saja ketika Anis menyodorkan sebuah tablet pereda maag ke bibirnya.

"Mas Hadi makan bubur saja, ya? Biar perutnya nggak sakit lagi."

Hadi mengangguk. Ia hanya memandangi tubuh Anis yang menjauh untuk kembali ke dapur, membuatkan bubur.

Tiba-tiba ponsel Hadi bergetar pendek. Sebuah pesan rahasia. Mitha!

Hadi cepat-cepat mengetikkan kode kunci untuk membuka pesan rahasia tersebut.

Di, bisa kita ketemu nanti malam? Di tempat biasa.

Hadi menggigiti bibirnya. Perasaannya ragu, tapi sangat ingin berkata 'ya'.

Aku sangat ingin Mitha. Tapi pagi ini aku tak enak badan.

Hadi mengirimkan balasan. Ada sesal yang diam-diam dipendamnya dari pesan itu. Harusnya ia bilang saja 'oke'. Toh, pertemuannya masih nanti malam.

Ponsel kembali bergetar pendek.

Oke. Kutunggu kabarmu sampai jam 5 sore ini.

Hadi memandangi pesan balasan Mitha. Ada senyum tipis yang mengembang di bibirnya. Masih ada peluang untuk pertemuan yang memasung hatinya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RESENSI BUKU: HUJAN MERAH JAMBU

Ari-Ari Lengket

TIPS JADI JUTAWAN DARI DESAIN GRAFIS