MENGAPA HARUS MENULIS?
Mengapa
harus menulis?
Saya bukan seorang dengan hobi banyak bicara.
Saya juga bukan orang yang dengan mudah mengungkapkan perasaan melalui lisan.
Meskipun saya juga bukan orang dengan kesulitan berkomunikasi atau
bersosialisasi. Untuk mengungkapkan perasaan yang lebih dalam, saya lebih suka
menulis. Menuliskan kemarahan, kesedihan, kekecewaan, dan keresahan perasaan
saya sudah saya lakukan sejak usia saya remaja. Tapi tulisan-tulisan itu hanya
terbatas pada hal-hal yang mengganggu perasaan dan pikiran saya. Saya
menuliskannya karena saya percaya bahwa di dunia ini tidak ada media yang lebih
baik untuk mencurahkan perasaan saya selain pada kucing, tanaman, kertas dan
pena. Dan tulisan-tulisan pendek saya bisa mewakili keterbatasan saya dalam
menyampaikan perasaan saya. Tulisan saya semasa remaja cukup frontal bagi saya.
Mungkin karena usia yang masih belia dan keterbatasan ilmu tentang kepenulisan
yang baik. Saya hanya mengikuti gaya menulis Chairil Anwar yang berkesan bebas.
Sehingga saya yang masih muda punya keinginan terbebas juga dari segala aturan
main baku tentang menulis, juga karena perasaan-perasaan saya yang mengalir
begitu bebas ketika saya bisa menuliskannya.
Ketika seusia itu saya bukan anak yang
terlalu penurut. Banyak perilaku yang saya rasa cukup memusingkan kedua orang
tua saya, terutama ibu. Berbeda dengan saya, ibu saya lebih cerewet, lebih
banyak bicara blak-blakan tentang sikap-sikap saya yang dirasa salah atau
melanggar aturannya. Dan dengan gayanya, saya sering kena omel yang berujung
pada kekesalan terhadap diri saya. Saya menjadi lebih sering menyalahkan diri
sendiri untuk setiap kesalahan yang saya perbuat. Tapi malah lebih suka
terus-terusan seperti itu. Perasaan saya selalu mengatakan bahwa saya akan
tetap salah, apapun perbuatan saya. Hingga pada akhirnya menuliskan semua itu
menjadi kebiasaan. Banyak puisi-puisi yang saya buat adalah berdasarkan
kemarahan, kesedihan, dan kekecewaan yang awalnya tertuju pada ibu namun
berubah menjadi kemarahan, kesedihan, dan kekecewaan pada diri sendiri. Dan
kembali lagi, setelah menuliskannya, saya jadi merasa lebih bebas. Begitulah
awalnya saya punya hobi menulis. Inspirasi dari seorang ibu yang sering
mengomeli saya karena rasa sayangnya yang begitu besar. Belakangan saya baru
tahu kalau ibu saya juga punya hobi menulis. Banyak tulisannya yang hanya
menjadi lembaran-lembaran tak tereksploitasi mengenai perasaannya selama
menjadi seorang ibu yang menghadapi berbagai macam sikap anak-anaknya,
rencana-rencana untuk anak-anaknya, rancangan masa depan untuk anak-anaknya,
sampai rincian belanja bulanan dan harian. Dan hari ini saya bisa katakan
bahwa inspirasi awal tulisan-tulisan saya adalah ibu saya sendiri, hanya saja
selama ini saya mengalami salah paham mengenai sikap-sikap ibu yang cukup keras
terhadap anak-anaknya.
Saya tidak memiliki basic menulis yang luar biasa. Saya hanya senang mempelajari gaya
menulis orang lain. Tidak ada pendidikan formal yang saya jalani untuk
mempelajari tata bahasa. Hanya satu semester di perguruan tinggi saya mengambil
mata kuliah Sastra dalam Pembelajaran Sejarah karena saya mengambil kuliah
dengan jurusan Pendidikan Sejarah di salah satu perguruan tinggi negeri. Agak
menyesal juga karena tidak mengambil jurusan Sastra Indonesia atau Pendidikan
Bahasa Indonesia saat masuk perguruan tinggi. Mungkin saya akan lebih banyak
memiliki pengalaman dalam dunia tulis menulis, sudah menerbitkan buku lebih
awal, atau menjadi penulis untuk media cetak dan elektronik. Tapi penyesalan
tidak akan mengubah apapun. Sampai saat ini, mengikuti sebuah komunitas menulis
adalah satu langkah maju yang saya lakukan untuk menunjang hobi menulis saya.
Mengapa harus menulis?
Jika di masa lalu saya menulis untuk
melampiaskan perasaan-perasaan anak remaja yang masih keliru tentang penilaian
terhadap ibunya, hari ini saya menulis untuk mengubah pola pikir anak-anak saya
kelak. Salah paham bisa terjadi karena cara komunikasi yang kurang tepat antara
orang tua dengan anak-anaknya. Sering kali orang tua hanya melarang tanpa mau
mengungkapkan alasan-alasan yang bisa diterima oleh anak-anak. Atau
mengungkapkannya dengan cara yang kurang tepat. Atau bisa jadi karena orang tua
tidak pernah menunjukkan bagaimana perasaan yang sedang dirasakan kepada
anak-anak. Padahal anak-anak sudah bisa merasakan perasaan orang tua dengan
penyampaian yang tepat. Salah satu alasan kenapa saya harus menulis adalah
untuk anak-anak saya. Agar mereka dapat mengetahui, merasakan, dan mengerti
bagaimana perasaan saya sebagai orang tuanya. Tulisan bisa menjadi salah satu
media komunikasi yang ampuh untuk mengungkapkan perasaan-perasaan di dalam
diri.
Mengapa harus menulis?
Sejak awal saya jatuh cinta pada tulisan
pendek. Sebut saja puisi, sajak, atau tulisan bebas yang tidak memiliki
kuantitas berlembar-lembar. Tulisan-tulisan pendek sudah mencuri hati saya
untuk tetap menjadikannya sebagai tulisan yang dapat saya nikmati isi dan
maknanya. Ada kesenangan tersendiri ketika saya bisa merasakan dan
menebak-nebak apa makna dan kelanjutannya. Membuat saya lebih banyak berkhayal
dan berimajinasi. Meski saat ini saya juga penyuka novel yang kuantitas tulisan
dan ceritanya lebih panjang.
Menulis membuat saya lebih banyak berkhayal
dan berimajinasi. Bermain-main dengan pikiran dan perasaan yang tengah muncul,
menuangkannya lewat tulisan, menjadikan diri lebih bebas dan tanpa beban. Lebih
rileks. Saya tidak pernah berpikir akan sampai membuat buku dari
tulisan-tulisan saya. Tapi akan ada kepuasan tersendiri jika sampai itu semua
terwujud. Tulisan saya tidak hanya akan menjadi konsumsi pribadi, tetapi juga
bisa membuat saya berkomunikasi dengan orang lain yang membaca tulisan-tulisan
saya. Akan sangat menyenangkan jika pemikiran yang saya tuangkan ke dalam
tulisan juga bisa mengubah pola pikir orang lain ke arah yang lebih baik.
Mengapa harus menulis?
Harimau mati
meninggalkan belang. Gajah mati meninggalkan gading.
Pepatah itu cukup bagi kita untuk paham bahwa
manusia sebagai makhluk paling sempurna di muka bumi ini harus bisa memberikan
manfaat, meski sudah tidak bernyawa. Bagaimana caranya? Tidak hanya
meninggalkan nama, tetapi juga harus meninggalkan karya. Setiap orang punya
cara masing-masing. Menulis adalah salah satunya. Maka, mulailah menulis
walaupun satu kalimat.
Cirebon, 24 Agustus 2016
mbak, gimana biar tahu sudah 800 kata?
BalasHapus